Kamis, 13 Januari 2011

PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA SERTA DAYA BELI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH DI DKI JAKARTA (Studi Kasus : Rumah Susun Karet Tengsin, Rumah Susun Bendungan Hilir I, Rumah Susun Pasar Jumat)

A. Latar Belakang

Dengan terus bertumbuhnya jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta maka kapasitas daya tampung kota ini dalam melayani penduduk yang ada semakin lama semakin berkurang. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari masih banyaknya penduduk terutama dari golongan masyarakat berpendapatan rendah di DKI Jakarta yang belum memiliki rumah sehat sebagai salah satu kebutuhan dasar.

Dalam mengantisipasi ketidakmampuan masyarakat berpendapatan rendah dalam memiliki hunian dekat dengan lokasi pekerjaan di DKI Jakarta maka Kementrian Perumahan Rakyat (Menpera) mencanangkan program pembangunan rumah susun sederhana. Dalam realitas yang terjadi di DKI Jakarta, pelaksanaan kebijakan pembangunan rumah susun belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.

Salah satu studi yang mengkaji mengenai kepemilikan rumah susun di Kemayoran Jakarta Pusat menunjukkan bahwa sekitar 60,1% penghuni asal yang merupakan masyarakat berpenghasilan rendah mengalihkan kepemilikannya dari penghuni asal kepada pendatang yang merupakan masyarakat tinggi (Yovi, 2005).

Biaya tinggal yang harus ditanggung oleh penghuni di rumah susun pada dasarnya terdiri dari biaya sewa atau sewa-beli beserta surcharge. Besarnya harga sewa maupun sewa-beli(1) di rumah susun sederhana bagi masyarakat berpendapatan rendah dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi pada tahap pembangunannya. Di samping biaya produksi terdapat juga biaya operasional dan pemeliharaan (operasional and maintainance cost) yang turut mempengaruhi besarnya surcharge(2) di rumah susun sederhana.

Pembangunan rumah susun sederhana terutama di DKI Jakarta pada dasarnya membutuhkan biaya produksi yang besar sehingga seharusnya harga sewa ataupun sewa-belinya juga mahal. Pada kenyataannya harga sewa maupun sewa- beli yang ditetapkan saat ini untuk rumah susun sederhana di DKI Jakarta lebih rendah apabila dibandingkan dengan harga yang berlaku menurut mekanisme pasar. Kemampuan daya beli dari golongan

Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR) pada dasarnya belum diketahui secara jelas apabila harga sewa-beli ataupun sewa di rumah susun sederhana tersebut diterapkan menurut mekanisme pasar. Di sisi lain, dengan memberlakukan harga sewa ataupun sewa-beli yang ditetapkan saat ini juga belum diketahui keefektifan program pembangunan rumah susun dalam mendapatkan target penghuni dari golongan MBR.

Oleh karena itu, karena tidak jelas dasar-dasar perhitungan harga sewa-beli ataupun sewa yang ditetapkan saat ini di rumah susun. Besarnya selisih harga sewa maupun sewa-beli menurut perhitungan pasar dengan yang ditetapkan untuk rumah susun sederhana di DKI Jakarta memungkinkan adanya penghuni yang tidak sesuai sasaran.


B. Pembahasan

Kegiatan investasi untuk pembangunan rumah susun pada umumnya merupakan bentuk investasi yang bersifat sosial (social investment) sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pembangunan hanya sebatas menggunakan anggaran yang telah dipersiapkan. Apabila diteliti lebih lanjut, investasi yang dilakukan pelaksana pembangunan baik pemerintah ataupun perumnas kurang efisien apabila dipakai seluruhnya untuk pembangunan rumah susun. Dengan memakai keseluruhan anggaran untuk pembangunan rumah susun berarti pemerintah harus mempersiapkan anggarannya kembali untuk melakukan pembangunan rumah susun lainnya di lokasi yang berbeda. Apabila dalam investasi pembangunan rumah susun, biaya yang dikeluarkan tidak berasal seluruhnya dari modal sendiri tetapi melibatkan modal pinjaman. Dengan melibatkan modal pinjaman maka modal pemerintah yang bersisa untuk pembangunan dapat digunakan untuk membangun kembali rumah susun di lokasi lainnya

Dengan mengkombinasikan modal sendiri dan modal pinjaman dalam kegiatan investasi pembangunan dan pengelolaan rumah susun sederhana, maka akan disimulasikan harga sewa ataupun sewa-beli yang memenuhi kriteria kelayakan finansial. Pada alternatif I diasumsikan sumber dana berasal dari 30% modal sendiri dan 70% modal pinjaman, alternatif. Alternatif II mengasumsikan sumber dana berasal dari 40% modal sendiri dan 60% modal pinjaman. Adapun dalam alternatif III diasumsikan sumber dana berasal 50% modal sendiri dan 50% modal pinjaman. Besarnya bunga dari modal pinjaman yang diberikan ke pada pihak pelaksana pembangunan (developer) didasarkan pada bunga kredit pinjaman kegiatan pembangunan perumahan yang diberikan bank swasta pada umumnya sebesar 15%.

Melalui simulasi tersebut diketahui bahwa harga sewa-beli hasil perhitungan yang selanjutnya diangsur oleh penghuni setiap bulan melalui angsuran KPR, dalam jangka waktu 5 sampai dengan 20 tahun tidak semua memenuhi kriteria kelayakan finansial. Dalam perhitungan harga sewa-beli di rumah susun Karet Tengsin dan Bendungan Hilir I angsuran di atas jangka waktu 5 tahun (6-20 tahun) tidak memenuhi kriteria kelayakan finansial sedangkan angsuran dengan jangka waktu 5 tahun memenuhi kriteria kelayakan finansial namun break even point yang dibutuhkan tidak mencapai waktu 7 tahun sebagaimana ditargetkan oleh pihak swasta (developer) pada umumnya. Adapun harga sewa hasil perhitungan (sebesar Rp.928.700) untuk rumah susun sederhana Pasar Jumat juga tidak memenuhi kriteria kelayakan finansial.

Dengan memajukan jangka waktu balik modal (BEP) menjadi 7 tahun dan mengkombinasikan Ketiga alternatif proporsi modal investasi pembangunan dan pengelolaan rumah susun tersebut diperoleh hasil perbandingan yang layak secara finansial bagi pihak pelaksana pembangunan dan menghasilkan harga sewa ataupun sewa-beli paling rendah adalah alternative III (dengan menggunakan komposisi 50% modal sendiri dan 50% modal pinjaman) untuk semua rumah susun studi Akan tetapi penggunaan ini akan berakibat harga sewa maupun sewa-beli menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga awal hasil perhitungan yang menghasilkan BEP di atas 7 tahun. Dengan besarnya harga sewa-beli maka angsuran yang harus dibayar penghuni juga akan semakin besar sehingga agar angsuran tersebut lebih ringan maka jangka waktu pengembaliannya harus lebih dari 20 tahun.

Hasil Uji Kelayakan Finansial dengan Harga Sewa dan Sewa-Beli Hasil Simulasi menggunakan Model Pembiayaan Pembangunan dan Pengelolaan Rumah Susun Alternatif III

1

Rumah Susun Karet Tengsin

Hasil uji kelayakan finansial dengan harga sewa-beli simulasi sebesar Rp. 438.518.519 adalah :

PI = 1,98

NPV = Rp. 26.066.717.269

IRR = 24,68%

BEP selama 7 tahun

2

Rumah Susun Bendungan Hilir I

Hasil uji kelayakan finansial dengan harga sewa-beli simulasi sebesar Rp. 91.851.852 adalah :

PI = 2,07

NPV = Rp. 10.454.012.212

IRR = 25,13%

BEP selama 7 tahun

3

Rumah Susun Pasar Jumat

Hasil uji kelayakan finansial dengan harga sewa-beli simulasi sebesar Rp. 5.870.000 per bulan adalah :

PI = 1,98

NPV = Rp. 13.284.651.435

IRR = 24,37%

BEP selama 7 tahun

Harga sewa maupun sewa-beli yang dihasilkan melalui simulasi memiliki selisih yang sangat besar dengan harga yang ditetapkan untuk rumah susun sederhana di DKI Jakarta. Apabila diteliti lebih lanjut, harga sewa maupun angsuran sewa-beli yang terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah (

C. Kesimpulan

Secara umum dikemukakan dalam pembahasan di atas dapat diambil benang merah bahwa harga sewa dan sewa beli yang dihasilkan melalui hasil perhitungan ternyata lebih besar dibandingkan harga yang sebenarnya di rumah susun studi. Dengan rendahnya harga sewa ataupun sewa-beli yang ditetapkan untuk rumah susun sederhana di DKI Jakarta maka dampak yang harus diwaspadai oleh Pemerintah atau Perumnas adalah adanya potensi bagi pemilik atau penyewa awal yang merupakan masyarakat berpendapatan rendah untuk menjual atau menyewakannya kembali ke pihak yang bukan golongan masyarakat berpendapatan rendah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, estimasi kelompok pendapatan masyarakat di Propinsi DKI Jakarta yang dapat menghuni rumah susun dengan menggunakan harga sewa-beli atau sewa hasil perhitungan adalah kelompok masyarakat berpendapatan menengah (Rp.1.700.001 – Rp. 5.700.000) hingga pendapatan tinggi (di atas Rp. 5.700.001). Di sisi lain estimasi kelompok pendapatan masyarakat yang dapat menghuni rumah susun dengan menggunakan harga sewa-beli atau sewa yang berlaku saat ini adalah kelompok pendapatan rendah (di bawah Rp.1.700.000). Akan tetapi, dalam kenyataannya penghuni rumah susun dengan harga sewa maupun sewa-beli yang berlaku saat ini adalah golongan masyarakat berpendapatan menengah (Rp.1.700.001 – Rp. 5.700.000).

Di samping itu, jika dilihat dari indikator kesesuaian target penghuni rumah susun yang dilihat dari tiga variabel yaitu status penghuni, tingkat pendapatan dan kepemilikan hunian lain, sebagaimana telah dijelaskan dalam metode penelitian sebelumnya, maka penghuni rumah susun dengan harga sewa maupun sewa-beli yang berlaku saat ini tidak sesuai dengan sasaran yang semestinya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Teknik Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat

 

            Sebagai salah satu penelitian yang berbasis pada ketersediaan informasi/data, evaluasi program pemberdayaan membutuhkan metode penelitian yang bisa secara fleksibel digunakan selama proses evaluasi berlangsung. Metode kualitatif jelas cocok digunakan, karena memang memiliki asas fleksibilitas metodis ini. Persoalannya mungkin muncul dalam penggunaan metode kuantitatif, karena lebih bersifat deduktif, termasuk dalam kebiasaan penentuan terlebih dahulu teknik-teknik evaluasi, lalu datalah yang mengikuti atau dicari berdasarkan teknik-teknik tersebut. Oleh sebab itu, ketika metode kuantitatif digunakan, ia pun diberlakukan secara fleksibel. Misalnya fleksibel dalam upaya menemukan rumus statistika yang paling cocok berdasarkan data yang tersedia, begitu pula simulasi-simulasi untuk mencari indikator yang cocok sesuai data dan rumus terpilih.

            Untuk metode kualitatif, pengolahan bisa dilakukan dengan bantuan program analisis kualitatif, misalnya Nud.Ist Vivo (N-Vivo). Catatan lapangan yang berupa tulisan tangan serta pustaka untuk keperluan analisis data kualitatif diketik ulang dengan Ms Word dengan elstension .rtf. Hasil ketikan tersebut dimasukkan ke dalam program komputer. Selanjutnya data dikode menurut yema-yema analisis, yang terutama sesuai kata-kata kunci dalam tukuan suatu program pemberdayaan.

            Analisis terhadap data dokumen dilakukan secara kualitatif dan semiotis/interpretif. Dalam hal ini konsep yang tertulis dalam aturan main dibandingkan dengan konsep-konsep umum untuk pembangunan yang partisipatif, misalnya melalui buku-buku teks, hasil penelitian, maupun “kamus” pembangunan (Sachs,1992). Dari kegiaatan ini akan diperoleh akurasi atau penyimpangan konseptual.

            Untuk menjelaskan kaitan antara fakta di lapangan dengan logika aturan main, maka yang dilakukan ialah melompat bolak balik antara aturan yang bersifat total yang dipahami melalui bagian-bagian fakta yang mengkongkretkannya, dan bagian-bagian fakta yang dipahami melalui aturan main yang bersifat total. Dengan menggunakan matriks, kemudian seluruh data kualitatif dianalisis menurut hubungannya dengan tema-tema pemberdayaan. Dari isi sel-sel matriks bisa ditunjukkan penjelasan (explanatory) dari rangkaian data. Penjelasan kausal yang paling kuat dibangun berdasarkan kesamaan hasil-hasil analisis dari pemakaian beragam teknik pengambilan data, Dari perbandingan hasil analisis data itulah kemudian diperoleh kesimpulan dan teori, yang bisa diwujudkan dalam suatu diagram teoritis. Teori semacam ini bernilai tinggi karena merupakan hasil inferensi dari seluruh data dokumen dan data lapangan.

            Pengolahan data kuantitatif  dilakukan berdasarkan data populasi yang mendapat program, bisa di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Data kuantitatif yang digunakan untuk menunjukkan hasil (outcome) program pemberdayaan merupakan perbandingan antara data hasil (result) dan data perencanaan.

            Pengolahan data kuantitatif  bisa dilakukan dengan menggunakan program komputer kuantitatif, misalnya SPSS. Pengolahan awal yang dilakukan adalah peringkasan data dalam grafik, tabel, dan metode-metode statistika. Tujuan peringkasan data adalah untuk menggambarkan sedikit karakteristik-karakteristik yang penting dari data. Selanjutnya dilakukan analisis lanjutan berdasarkan karakteristik yang sudah diperoleh. Analisis deskripso dilakukan untuk melihat kecenderungan data dalam tabel, grafik atau ringkasan data.

            Selanjutnya dilakukan uji kolerasi terhadap data jumlah pemanfaatan atau jumlah program. Hal ini dilakukan untuk memperkuat asumsi bahwa kecamatan yang jumlah penduduknya tinggi akan memperoleh bantuan yang tinggi begitu juga sebaliknya (biasanya sesuai dengan ketentuan Juklak/Juknis program). Jika hasil korelasi positif maka asumsi ini diterima sehingga penggunaan data persentase terhadap jumlah penduduk dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan program.

            Kemudian dilakukan penetapan indikator-indikator yang akan digunakan dalam analisis. Penentuan indikator menggunakan data-data yang telah tersedia, yang diasumsikan mempunyai hubungan dengan tujuan-berdasarkan pengalaman evaluasi program-program lainnya dan dianggap dapat menggambarkan keberhasilan suatu program pemberdayaan di suatu daerah.

            Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk melihat prilaku data. Analisis deskripsi yang dilakukan meliputi boxplot masing-masing variable unutk melihat pola data dan keberadaan data pencilan, histogram untuk melihat kemiringan data, dan perhitungan nilai tengah, median, derajat kemiringan, nilai maksimum, nilai minimum dan deviasi standard. Dari hasil analisis deskripsi terlihat terdapat data yang memiliki pencilan (extremes) sehingga data-data ini harus dipertanyakan penyebabnya. Unutk melihat rata-rata data digunakan median, rataan, dan modus. Jika data cenderung miring maka median adalah ukuran lokasi yang lebih baik untuk digunakan, karena lebih bisa mewakili data daripada nilai tengah dan modus. Sedangkan untuk data yang tidak memiliki pencilan dan kemiringannya cukup kecil, lebih cocok digunakan nilai tngah.

            Untuk menyamakan satuan pengukuran dari indikator-indikator yang diteliti dilakukan pembakuan nilai tiap-tiap indikator dalam variable baku Z, dengan rumus sebagai berikut :


                                                        Zpqi = Xpqi - µq

                                                                          σq

 

Keterangan :

    P          : tujuan ke-p, p=1,2,...,4

    Q         : indikator ke-q, q=1,2,...qp

    Zpqi     : Nilai Normal dari data ke-i, faktor ke-q, indikator ke-p

    Xpqi    : Data ke-i, faktor ke-q, indikator ke-p

    µq        : Nilai tengah populasi

    σq        : Ragam populasi

            Selanjutnya dilakukan analisis faktor dengan metode analisis komponen utama. Analisis komponen utama (Principal Component Analysis) bertujuan untuk mereduksi data dari q buah variable asal menjadi sejumlah komponen utama, yang lebih kecil dari q, dengan keragaman maksimum. Komponen utama yang dihasilkan adalah kombinasi linier terbobot dari q variable asal(Gaspersz, 1992)

            Analisis komponen utama dilakukan delam dua tahap.  Pertama, analisis komponen utama masing-masing tujuan evaluasi. Dari analisis ini diperoleh indikator-indikator yang dapat menerangkan tujuan. Hasil akhir dari analisis ini ialah nilai skor faktor masing-masing tujuan dari komponen utama yang keragamannya paling besar.

            Kedua, analisis komponen utama dari skor faktor tujuan untuk memperoleh skor faktor akhir yang akan menentukan tingkat keberhasilan suatu program pemberdayaan. Analisis ini menghasilkan komponen utama yang menggambarkan tujuan-tujuan yang menerangkan keberhasilan.

            Baik pula demikian indeks keberhasilan program unutk menyajikan lebih rinci kaitan beragam faktor penentu kinerja program. Seluruh indikator yang digunakan terlebih dahulu ditransformasi bentuknya, yaitu membandingkannya dengan suatu nilai “harapan” dari masing-masing indikator (suatu nilai ideal). Nilai ini dinyatakan dalam proporsi atau perbandingan, agar nilai indikator tersebut dapat dipertimbangkan mengingat jumlah desa penerima program per kecamatan, nilai bantuan program per kecamatan, serta jumlah penduduk berbeda-beda, dan dalam hal ini hubungan antara total jumlah penduduk, total jumlak KK, total jumlah penduduk miskin dengan nilai bantuan berhubungan positif. Sebagai contoh salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur indeks pemberdayaan adalah jumlah penduduk miskin yang berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan prasarana (Agusta, et.al.,2000). Jumlah penduduk yang berpartisipasi tersebut tidak dapat diperbandingkan secara langsung untuk mengukur partisipasi masyarakat antar lokasi program, melainkan jumlah penduduk miskin yang berpartisipasi tersebut harus diperbandingkan dulu dengan jumlah total penduduk miskin di lokasi program yang bersangkutan.

            Penetapan indeks dilakukan dengan mendasarkan pada nilai akar ciri (eign value) yang dihasilkan dari teknik analisa PCA dengan metode korelasi. Hasil komponen yang dapat digunakan sebagai indeks adalah yang memiliki nilai akar ciri terbesar dan lebih besar dari satu. Berdasarkan komponen yang terpilih sebagai indeks dapat ditentukan kontribusi dari setiap indikator yang digunkana dalam menyusun indeks tersebut.

            Hasilnya dapat digunakan untuk mengelompokkan wilayah program dalam dua kelompok berdasarkan skor faktor akhir, yaitu, pertama, wilayah berhasil, jika skor faktor akhir lebih tinggi dari rataan skor faktor. Kedua, wilayah gagal, jika skor faktor akhir lebih rendah dari rataan skor faktor. Dari sinilah diperoleh peta keberhasilan di tiap lokasi, atau bisa diagregasi ke tingkat-tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.

            Penyimpulan seluruh data dimulai dengan menyimpulkan seluruh data kuantitatif. Sedangkan data kualitatif disimpulkan melalui perbandingan kesimpulan antar kasus serta perbandingan dengan data kualitatif dari program atau kasus lain yang serupa. Hasil kesimpulan dari data kuantitatif dan data kualitatif tersebut kemudian disimpulkan bersama-sama, dengan cara mencari konvergensi pada setiap kesimpulan tersebut atau menguji kembali kesimpulan-kesimpulan yang berbeda secara logis serta sistematis menurut informasi dari literatur lain.